Pernah denger istilah 'zona nyaman'? Misal bagi pekerja kantoran, 'zona nyaman' itu ketika elo punya kerjaan mapan dan dapet penghasilan tetap tiap bulan. Mau elo masuk atau absen, mau perusahaan elo tembus omset atau nggak, elo nggak perlu khawatir karena tiap bulan elo tetep dapet duit dengan jumlah yang sama yang ditransfer ke ATM elo. Paling nggak, elo nggak terlalu khawatir gimana survive untuk sebulan ke depan.
Saat elo udah pasti dapet income yang tetap tiap bulan, apa elo masih berani keluar dari 'zona nyaman' dan mencoba sesuatu yang baru--yang mungkin lebih baik walau belum pasti? Gue berani taruhan, nggak semua orang mau. Gue pun ogah.
At least sampe bulan lalu.
Yup. Bulan lalu, pada akhirnya gue berani lompat dari 'zona nyaman' gue. Sebuah keputusan yang bisa dibilang gambling. Tapi gue yakin untuk hal lain yang lebih baik. Gue resign. Total hampir 6 tahun gawe di sebuah perusahaan importir valve dari Malaysia, gue akhirnya memutuskan resign. Untuk kerja di perusahaan lain? Nope. Untuk jadi ibu rumah tangga.
Yup (again)... setelah bertahun-tahun bahkan dari selesai kuliah udah jadi wanita karir di beberapa perusahaan, mulai hari ini, gue resmi berganti status dari "Working Mom" menjadi "Stay-at-Home Mom".
Hahaha... shock? Yeeaah... it's been a while since I updated you guys dan tetiba gue udah ganti status aja. Hahaha!
Enihao, memutuskan resign untuk jadi seorang mamak rumah tangga atau istilah kerennya stay-at-home mom atau ada juga yang bilang full time mom, bukan hal yang gampang sebenernya. Mungkin karena gue terlalu terbiasa dengan kesibukan ala kantoran. Mungkin karena gue butuh keluar rumah untuk bersosialisasi dan mengeksplor kemampuan diri. Mungkin karena gue pengen jadi wanita mandiri yang berpenghasilan sendiri. Atau mungkin juga karena emang gue pengen terus dapet duit bulanan yang pasti.
Dunno.
Tapi kalau boleh jujur, sebelum mutusin berani keluar dari 'zona nyaman', jangankan meyakinkan orang lain, meyakinkan diri gue sendiri aja butuh waktu. Gue sampe suka bengong kayak orang bego cuma gegara mikirin resign atau nggaknya dari kantor. Gue emang tipikal yang kalau mikir masa depan suka kejauhan. Mana yang dipikirin seringnya jelek-jelek mulu pula. Pikiran gue ya nggak jauh-jauh seputaran gimana nanti kalau gue udah resign, gue bakal bosen setengah mampus atau nggak di rumah mulu, gue bakal berubah jadi mamak-mamak galau atau nggak gegara nggak ada kegiatan, gimana duit gaji bulanan yang nggak bakal didapet lagi, bisa nggak ya survive dari yang double income jadi single income, endebre endebra. Jadi jangan ditanya soal cemas, khawatir, atau apa aja deh istilahnya. Pasti ada lah. Manusiawi juga menurut gue.
Ya kalau elo ragu, kenapa juga resign? Pasti ada kan yang gatel pengen komen gitu?
Guys, kata emak gue, perempuan itu 'langkahnya pendek'. Saat perempuan udah memasuki usia 25 tahun ke atas dan belum merit, mulai banyak bisik-bisik tetangga yang kepo nanyain jodohnya. Saat perempuan mulai masuk usia 30 tahun ke atas dan belum merit juga, mereka bakal kasih julukan baru "perawan tua". Yang udah merit juga nggak lepas dari segala bebisikan itu. Saat merit baru beberapa bulan aja, udah ditanyain mulu "udah ngisi belom?". Saat merit udah bertahun-tahun dan masih belum hamil, mulai pada sibuk berkhayal jangan-jangan si itu mandul. Saat akhirnya udah punya bayi pun, banyak yang ribetin "ih kok minumnya sufor sih, kayak aku dong ASI", "kok ASI nya dipompa?", "kok lambat ya pertumbuhannya?", "kok belum lancar sih ngomongnya padahal udah berapa tahun.", "kok gini... kok gitu...", bla bla bla.
Itu belum seberapa. Gue masih inget banget, dulu saat gue masih kerja dan nggak bisa 24 jam ngurus anak, banyak banget 'intel akhirat' yang bilang kalau working mom kayak gue gini tipe ibu nggak sayang anak lah, lupa kodrat lah, egois lebih mentingin diri sendiri lah, bukan contoh ibu yang baik lah, bla bla bla. Yang bikin sedih, mereka bilang gitu dengan entengnya. Mereka nggak tau kalau gue suka nangis saat tetiba kangen anak di kantor, gue ngerasa nyesek saat moment-moment berharga pertamanya anak nggak bisa gue saksikan langsung, gue ikutan sakit saat gue nggak bisa izin buat ngurus anak yang lagi sakit, dan karena full time gue cuma di weekend jadi sebisa mungkin weekend gue habisin untuk quality time bareng anak dan keluarga sampe nyaris nggak kepikiran lagi buat me-time sendirian. Dan ajaibnya, saat gue akhirnya mutusin untuk resign, tetep juga muncul komen, "ih kok resign? Sayang amat...", "mau ngapain cuma di rumah aja?", "sayang dong gelar sarjananya...", dan bla bla bla.
Iya. BLA BLA BLA. Saking banyaknya komen cantik nan sotoy yang bikin kuping merah.
Ha-ha. Lucu, ya? Apapun yang dilakukan, pokoknya salah. Jadi perempuan emang rempong. Titik.
Tapi gue bersyukur punya suami yang nggak mengekang gue. Mau berkarir di luar silakan, mau jadi ibu rumah tangga biasa pun silakan. Yang mungkin agak sulit emang meyakinkan orang tua dan mertua. Kami harus pelan-pelan ngomong ke mereka. Mungkin kekhawatiran mereka hampir sama dengan kekhawatiran gue. Tapi kalau gue yang bakal menjalani aja pada akhirnya bisa yakin, kenapa mereka nggak? Pastinya kami tetap menenangkan mereka kalau gue resign justru untuk hal lain yang semoga lebih baik. Dan gue butuh restu mereka. Alhamdulillah mereka pun setuju dan support.
Iya, gue resign demi hal lain yang semoga lebih baik.
Well, gue dan Pipi sadar, dengan resignnya gue dari kantor, otomatis akan berkurang satu sumber pendapatan tetap. Pipi udah beberapa tahun ini fokus berwirausaha aja, jadi income per bulan nggak bisa pasti, tergantung banyak sedikitnya omset. Gue sendiri emang mulai ngikutin jejak suami untuk merintis usaha, tapi ya namanya masih merintis dan belum ada setahun, hasilnya belum begitu keliatan. Belum lagi kami juga masih ada kreditan di bank. Dan satu hal yang pasti, kami bukan dari kalangan keluarga berada. Bukan horang kayah. Jadi nggak mungkin kami nyantai aja nadahin tangan ke orang tua. Apalagi kalau sampe ada yang bilang kami hidup di ketek orang tua. Cukup senyumin aja. Coz the truth is... kami kudu jungkir balik jengkang cari duit ke sana-sini, dari hasil keringet sendiri.
Tapiiii... saat ini keyakinan kami cuma satu, rezeki udah ada yang atur. Apa yang emang untuk kami, nggak bakal ketuker dengan orang lain. Rezeki yang Allah kasih untuk tiap hamba-Nya nggak bakal mungkin salah kamar. Dan gue yakin, rezeki gue bukan cuma dari kantor gue. Justru dengan resign, gue pengen lebih fokus mengembangkan usaha yang tengah gue rintis sekarang. Walau saat ini gue sebut usaha gue adalah hobi yang dibayar, tapi mimpi semoga usaha ini bisa terus lancar, besar, dan sukses suatu hari nanti pasti tetap selalu gue minta sama Allah.
Dan ya... to be honest... alasan spesial dari semuanya... hal lain yang semoga lebih baik... adalah gue bisa punya lebih banyak waktu untuk Ryu. Gue ibunya, yang dari sejak dia hadir di perut gue selalu pengen bersama dia 24 jam. Merawat dan mendidik dia dengan tangan gue sendiri. Terlepas apapun kata orang tentang stigma seorang working mom kayak yang dulu gue lakonin, terlepas apakah gue tetap bekerja di luar atau jadi ibu rumah tangga, gue adalah seorang ibu. Siapa pun dia, apa pun pekerjaannya, setiap ibu pasti selalu pengen bersama dengan anaknya di tiap detik hidupnya. Jadi kalau ada yang bilang seorang ibu nggak sayang anaknya hanya karena memilih menjadi working mom, hati mereka pasti lebih busuk dari bangkai.
Jadi yaah... intinya hari ini gue pengen menyelamati diri gue sendiri yang akhirnya berani mengambil keputusan final untuk melangkah keluar dari 'zona nyaman' setelah galau cukup lama. Dengan status baru gue ini, semoga harapan yang lebih baik itu bakal terwujud. Karena bagi gue, stay-at-home mom itu artinya gue bisa selalu ngangon anak, dengan cuma pake daster kucel, sambil tetap berpenghasilan sendiri dari usaha yang gue jalanin, yang semuanya dilakukan CUMA dari rumah.
Dan gue bersyukur karena akhirnya gue bisa memilih keputusan ini saat ini, karena mungkin masih banyak para working mom di luar sana yang sebenernya ingin mengambil keputusan yang sama, tapi masih dihadapkan pada sikon yang belum memungkinkan.
Last, gue cuma mau bilang...
Tiap pilihan pasti ada alasan. Dan tiap alasan pasti ada konsekuensinya. Entah memilih pengen berpenghasilan tetap atau tetap berpenghasilan. Entah menjadi working mom atau stay-at-home mom. Dan ribuan pilihan lainnya. Yang pasti, bertanggungjawablah pada pilihan yang diambil, lakukan yang terbaik, dan pasrahkan hasilnya sama Allah. Hasil toh nggak bakal mengkhianati proses. Dan Allah juga nggak pernah meminta kita untuk sukses dan berhasil. Dia hanya meminta kita untuk mencoba.
Thanks for reading. Have a good day dan jangan lupa bersyukur! :)
2 komentar:
Welcome to the club Mom, hihi tenang aja ada Allah yang maha kaya, yakini kalo rezeki mom dititip Tuhan via Suami, yakini aja Suami nya bakal loyal dan royal ;)
Aamiin... aamiin... iya rezeki dari Tuhan nggak kayak sendal jepit yg sering ketuker, ya... hihihi... eniwei, thank you so muchoo yaa.. :*
Posting Komentar