Pernah nggak sih elo merasa pengen menyendiri dulu untuk sekedar merenung atau curhat sama Allah sambil nangis? Di saat elo merasa semua nggak baik-baik aja dan elo pengen teriak tapi nggak mampu? Even when you want to kill yourself, tapi nggak mungkin elo lakuin karena elo tau itu dosa? Damn! Rasanya itu nyelekit-nyelekit nyesek di dada, kan?
Mestinya saat ini gue kudu enjoy sama otak dan hati gue. Karena gue tau, janin di dalem rahim gue bakalan ikut stres kalau emaknya stres. But what can I do? Gue cuma manusia biasa. Dan sebagai manusia biasa, gue punya otak yang bisa dipake untuk mikir dan hati yang dipake untuk merasakan. Even gue nggak pengen mikir atau merasa yang negatif, tapi semua bakal terjadi begitu aja. Pikiran-pikiran bangsat itu nggak bisa dengan mudah hilang begitu aja dari otak gue. Yeah... praktek nggak semudah teori. Hidup nggak bakal segampang kata-kata Mario Teguh buat dijalanin.
Dan kenapa tiba-tiba gue nulis gini? Oh... I dunno... really. Mungkin gue lagi kelewat penat. Sedih. Frustrated. Down. Feeling blue. Anything you name it. Intinya adalah gue nggak dalam kondisi yang baik-baik aja. Oke, mungkin tiap orang yang liat gue bakal berpikir, "oh... you look fine and so healty, dear!". Tapi toh mereka nggak tau apa yang lagi gue rasain--deep inside my heart.
Kata orang, bumil rentan stres. Dan gue setuju. Sebenernya dari awal hamil, gue mencoba untuk menikmati hidup dan menjadi mom-to-be yang hepi dengan calon bayi gue. Selama itu, bukan berarti nggak ada masalah. All life is a series of problems. Tapi ya emang dasarnya gue udah keburu hepi, so semua masalah yang ada nggak pernah gue ambil pusing berkelanjutan.
But hey... di mana gue yang kemarin cuek itu? Jelang minggu ke-25 kehamilan--sampe detik ini--tetiba gue mengalami gejala stres akut. Otak gue mendadak disesaki banyak pikiran yang saling bertautan kusut minta ampun. Gue jadi doyan ngelamun. Gue nggak bergairah lagi untuk melakukan apapun. Gue nggak nafsu makan. Gue sering insomnia. Gue cuma senyum ala kadarnya. Nangis? Haduh... udah nggak keitung berapa kali gue bisa mewek dalam sehari--secara diem-diem. Dan puncaknya, minggu lalu ada flek darah yang sukses nongol di undies gue. Bukan cuma itu, tensi gue yang biasanya normal jadi turun drastis. Waktu cek rutin ke dokter, tensi gue cuma 99/61. Beberapa hari berikutnya cek ke bidan deket rumah untuk sekalian suntik TT, tensi gue malah makin turun jadi 95/70. Untung HB gue nggak begitu memprihatinkan, walaupun cuma di angka 11,1.
Jujur, emang ada satu hal--let say, ujian dari Allah--yang mau nggak mau mesti gue dan Pipi alami belakangan ini. Gue nggak bakal mengumbar detail soal itu di sini karena bagi gue itu privasi rumah tangga. So sorry. Tapi yang pasti, satu hal itu sanggup bikin gue yang awalnya masa bodo ini jadi rapuh mendadak dan menumpuk beban pikiran.
Sebenernya sih gue nggak mesti mikir sampe segitunya. Toh Pipi juga nyantai aja. Dia malah nggak bosen ingetin gue untuk tetep jaga kondisi, jangan sampe stres. Kasian calon bayi kami kalau gue nggak hepi. Toh mestinya gue juga nyadar, namanya orang berumah tangga, pasti bakal dateng suatu masa di mana mereka bakal diuji. Ibarat bahtera yang berlayar di tengah laut, begitulah rumah tangga. Bahtera nggak melulu berlayar di laut yang tenang, tho? Bukankah nahkoda yang hebat adalah nahkoda yang mampu bertahan membawa bahteranya selamat dalam badai? Jika suami adalah nahkoda yang mengomandoi bahtera, sementara istri adalah awak yang membantu mengendalikan bahtera biar nggak oleng, maka pasti dibutuhin kerja sama keduanya agar sanggup melewati badai dengan selamat, lantas disebut hebat. Jadi, adanya ujian mestinya bisa makin menghebatkan gue dan Pipi, kan?
Ya, gue paham itu. Tapi ada saat di mana gue mikir, kenapa Allah kasih ujian ini justru di saat gue tengah hamil? Apalagi bagi gue ini bukan ujian yang kecil, karena sedikit banyak bakal ngaruh juga ke masa depan anak kami. Sebagai ibu, gue pengen memberi yang terbaik buat anak gue, liat dia bahagia, dan memenuhi segala kebutuhannya. Gue rela menangguhkan segala keinginan gue demi mempersiapkan tabungan untuk anak gue. Pastinya yang gue mau, anak gue bisa menikmati hidup yang lebih baik dibanding orang tuanya. Itulah sebabnya otak gue mulai mikir ngaco, kenapa di saat gue tengah mempersiapkan kelahiran dan merancang masa depan anak gue, ujian macem gini mesti ada? Rasanya bakal buyar semua rencana yang udah gue susun rapi.
Tapi sekarang gue sadar kalau dengan mikir gitu, gue ngerasa dosa banget. Siapa gue sampe mikir sotoy dan su'udzon kayak gitu ke Allah? Allah kasih ujian justru saat gue tengah hamil gini, pasti ada hikmahnya. Allah aja yakin menitipkan anak ini ke kami di saat ini, lantas kenapa gue malah nggak yakin? Di mana iman gue? Gue bener-bener nggak pantes mikir gitu. Astaghfirullah...
Finally, paragraf ini adalah catatan untuk gue sendiri. Walaupun nggak mudah dan masih terasa nyeri, gue harus bangkit setelah jatuh, kan? Lagipula ada Pipi yang selalu setia di samping gue. Hakikat sesungguhnya dari sebuah pernikahan adalah untuk saling menguatkan dan mendampingi dalam keadaan apapun pasangan kita. Sumpah di hadapan Allah saat akad dulu nggak boleh kami anggap enteng. Di sinilah kedewasaan hidup itu dimulai. Harus yakin pada skenario Allah. Pada akhirnya, semua akan baik-baik aja. Kalau belum baik, maka itu belum berakhir. Dan selalu yang nggak boleh dilupa, Allah menggenggam setiap doa. Dia hanya menunggu waktu yang paling tepat untuk melepaskannya satu per satu. This is God's will.
3 komentar:
Itu memang benar ada nya... gak selama nya hidup berumh tangga bakal semulus sinetron. Selalu ada krikil-krikil tajam yang akan selalu mengikuti..
But its okey.. to be positif think aja.. bukan kah allah jg sllu menyertakan sebuah solusi di balik semua permasalahan... ikhlas,sabar n sllu bersyukur bisa mnjadi sebuah kunci dasar..
Tetap semangat became a stong wife & to be a mom... . ;) :)
Sip! Mesti byk bljr sabar & syukur skrg ini. :)
Thx anyway udh mampir ya, nuy! :D
Posting Komentar