Setelah memelukku erat dan mencium keningku, dia pamit ke kantor--seperti biasa. Seperti biasa pula, aku tersenyum. Dengan Nyan-Chan si kucing kesayangan kami dalam gendonganku, aku menatap nanar punggungnya yang menjauh hingga menghilang di ujung sana--tentu saja, masih tersenyum. Aku kembali ke dalam rumah dan menutup pintu. Menghela nafas, lantas dalam sepersekian detik, pertahananku jebol. Cairan mata yang sejak tadi coba kusembunyikan di balik senyumanku mengantar keberangkatan sang suami ke kantor, akhirnya menggenang riuh. Membanjiri pipiku tanpa ampun. Tanpa sanggup aku tahan, air mata terus mendesak keluar. Aku goyah. Aku bingung. Yang bisa kulakukan hanya menangis. Ya, di Senin pagi itu, aku pun menangis...
Sebelumnya, tepatnya di Sabtu malam, di tengah perjalanan menuju ke warung padang untuk membeli nasi, suamiku memulai pembicaraan, "ada kabar baik dan kabar buruk yang mau Pipi sampein ke Mimi."
Sekilat aku menatap wajah lelaki terkasihku itu sambil terus berjalan di sisinya. Aku siap mendengarkan.
"Kabar baiknya," lanjut suamiku perlahan. "Pipi dapet promosi jabatan."
Langkahku sempat terhenti demi mencurahkan kebahagiaan mendengar yang baru saja dia katakan. Alhamdulillah. Betapa bahagianya hingga nyaris aku mencium suamiku, kalau saja aku tidak buru-buru ingat tengah berada di jalan umum. Oh, dan aku tersadar ini belum selesai. Masih ada kabar buruk, kan?
"Kabar buruknya..." kali ini suamiku berkata jauh lebih perlahan dibanding sebelumnya. Sangat hati-hati. "Pipi ditempatin di Kalianda..."
Terjadi juga. Sesuatu yang selama ini kutakutkan terjadi juga. Aku berharap suatu saat suamiku mendapat promosi jabatan yang lebih baik dari sekarang. Dan aku berharap--sangat berharap--agar promosi itu tidak mesti ditempatkan di luar kota. Oke, aku tahu jarak antara Kalianda dan Bandar Lampung tidaklah sejauh yang dipikirkan. Masih di provinsi yang sama, hanya berbeda kabupaten. Nglaju Kalianda-Bandar Lampung mungkin bisa. Tentu, itu bisa saja jika sikonnya memungkinkan. Tapi sikon di tempat suamiku ditempatkan nanti tidak memungkinkannya untuk PP Kalianda-Bandar Lampung. Untuk itulah kantornya sudah menyiapkan sebuah rumah untuk menginap selama bekerja di sana. Berdasarkan jadwal kerjanya, Pipi bisa pulang kembali ke Bandar Lampung hanya pada waktu weekend.
Ah, saat itu aku tidak tahu mesti bahagia atau sedih. Pada akhirnya Allah menjawab doaku, walau aku harus kompromi dengan kenyataan lain yang sudah direncanakan Allah untuk kami. Mau tidak mau, suka tidak suka.
Bukannya tidak ingin mendukung. Hanya saja selama ini, sejak kami pacaran, aku selalu tidak pernah menyetujui jika dia harus bekerja di kota lain. Aku sadar sepenuhnya ada banyak kesempatan yang lebih baik baginya di luar sana, tapi sungguh, untuk berhubungan jarak jauh atau minimal bertemu hanya seminggu sekali, aku tidak sanggup. Dan demi aku, demi cinta kami, Pipi mengalah untuk terus berkutat dalam karir di dalam kota. Karena itulah saat mendengar apa yang dikatakan Pipi tentang promosi jabatannya di luar kota, aku kehilangan kata-kata. Di satu sisi, aku tidak ingin menjadi istri yang tidak membuka pintu saat kesempatan bagi suaminya datang mengetuk. Apalagi kesempatan sering tidak datang untuk kedua kalinya. Take it or leave it. Tapi di sisi lain, itu berarti aku harus berpisah jarak darinya padahal selama ini kami selalu bersama, kan? Aku tidak bisa lagi berpikir. Aku hanya diam.
Di tengah penerangan lilin temaram di meja makan karena lampu tengah padam, ibuku dan suamiku bercakap tentang promosi jabatan yang dia ceritakan padaku di jalan tadi. Ternyata suamiku sudah menceritakan hal ini pada ibuku. Ibu memberikan dukungan penuh pada suamiku. Beliau lantas menceritakan bagaimana kehidupannya dulu di tahun-tahun pertama pernikahannya dengan ayahku. Mereka juga mengalami hal yang sama: berhubungan jarak jauh. Ayahku bekerja di salah satu BUMN di Bandar Lampung dan ibu mengajar di kota Salatiga, Jawa Tengah. Setelah tiga tahun berlalu, ayahku akhirnya memutuskan mengajak ibu untuk pindah dan berkumpul layaknya keluarga di Bandar Lampung. Cerita ini sudah sering kali kudengar dari kedua orang tuaku. Tapi entahlah, aku tidak pernah bosan jika harus mendengarnya berulang kali lagi.
Suami dan ibuku terus mengobrol. Aku hanya diam dan mendengarkan. Ada banyak hal yang singgah di otakku, saling berebut menjalin benang kusut yang memusingkan. Malam itu aku menghabiskan makan malamku dengan cepat dan berbisik pada suamiku, "habisin cepet makannya, pi. Mi mau ngomong serius di kamar."
Dan dia tertawa kecil. Dia sudah tahu hal serius apa yang akan aku bicarakan dengannya.
Tidak lama, Pipi menemuiku di kamar. Dia duduk di depanku. Aku siap untuk mengatakan apa yang ingin kukatakan tentang kepindahan suamiku itu ke luar kota. Bahkan aku sudah menyusun dengan cermat kata-kata apa yang akan aku ucapkan. Akhirnya. Ya, akhirnya aku bisa mengatakan yang ingin kukatakan. Paling tidak, itulah yang kupikirkan.
Tapi nyatanya... nyatanya tidak ada sepatah kata pun termuntahkan dari mulutku. Semua kata-kata keren yang sempat aku simpan di otakku buyar. Seiring dengan tangisku yang seketika pecah di pelukan suamiku. Aku urung mengatakan apapun yang ingin kukatakan. Aku hanya menangis... benar-benar menangis sambil terus memeluk suamiku. Aroma tubuhnya yang begitu kusukai mampir di indera penciumanku. Ah... sungguh, tidak ingin kulepas laki-laki terindah ini barang sesenti pun.
Pipi membelai lembut rambutku dan berbisik, "Pipi mau Mimi ikhlas, ya?"
Aku menutup mata. Itulah yang sebenarnya ingin kukatakan tadi, tapi tidak sanggup terlontar dari mulutku. Air mata justru memonopoli lebih dulu. Entahlah. Mungkin, masih terlalu berat rasanya melepas seseorang yang selama ini selalu bersama kita, merelakannya berada di tempat lain, dan tidak lagi bisa terus menemani sepanjang hari.
Aku mendongak. Pipi tersenyum. Lemah, aku mengangguk. Aku menyerah. Tidak, ini bukan sebuah kepasrahan pada keadaan. Tapi sebuah keikhlasan. Ikhlas demi masa depan suami, masa depan kami, yang Allah tawarkan untuk lebih baik.
"Mimi cuma mau Pipi janji satu hal." Aku lirih, masih sesengukan sambil menggenggam erat tangan suamiku. Lelaki di hadapanku menatapku penuh. "Selama di sana, jaga selalu hati Pipi cuma untuk Mimi, ya?"
Kembali, senyum terlukis di wajah suamiku. Seraya mengecup hangat kedua tanganku, dia menjawab, "Pipi janji."
Hanya sebuah kalimat singkat. Namun itu pun telah cukup menenangkanku. Seperti sihir. Aku menyeka mataku dan ikut tersenyum bersamanya.
Aku bersyukur, di usia pernikahan kami yang bahkan belum genap setahun, suamiku sudah mendapat posisi kerja yang lebih baik di kantornya. Mungkin untuk beberapa hari di tiap minggunya, ranjang itu akan terlalu luas untuk kutiduri sendiri tanpanya. Mungkin untuk beberapa hari di tiap minggunya, tidak ada lagi seseorang yang kuseduhkan kopi atau teh di pagi hari. Mungkin untuk beberapa hari di tiap minggunya, aku akan kehilangan teman bercerita. Mungkin untuk beberapa hari di tiap minggunya, tidak ada lagi seseorang yang merengek manja minta dipijat karena lelah bekerja seharian. Mungkin untuk beberapa hari di tiap minggunya, tidak ada yang akan jahil dan menggodaku genit di rumah. Tapi itu semua hanya untuk beberapa hari. Toh aku tetap bisa menikmati kembali hal-hal yang hilang itu saat akhir minggu tiba.
Lagipula, kurasa aku jauh lebih beruntung dibanding ibuku dulu yang ditinggal merantau ayahku ke Bandar Lampung. Beliau hanya tinggal bertiga dengan kakakku yang masih balita dan seorang pembantu. Tanpa keluarga, tanpa orang tua. Sedangkan aku, di sekitarku ada keluargaku yang siap menggantikan posisi Pipi untuk menjagaku selama dia bekerja di luar kota. Plus, jangan lupakan seekor kucing kecil putih nan lucu bernama Nyan-Chan, yang begitu lincah dan nyaris setiap hari tidak pernah absen mencakarku sekedar mengajak bermain. Dan jika itu belum cukup, faktanya, di luar sana ada banyak istri yang bahkan lebih sengsara dibanding ibuku dulu. Merelakan suami perwiranya yang harus ditugaskan ke medan perang di luar kota bahkan luar negeri selama berbulan-bulan hingga tahunan lamanya. Jadi, apalagi yang mesti aku khawatirkan? Hanya perlu menunggu beberapa hari untuk bisa bertemu di akhir minggu. Bukankah pertemuan yang tertunda membuat kerinduan semakin menggebu saat akhirnya bertemu kembali? Ah... kuanggap itu romantis jika tidak ingin dibilang menyedihkan. :)
Jadi, begitulah. Di hari Senin pagi itu aku memang menangis. Menangis karena berbagai perasaan yang membaur. Jika ini memang yang terbaik bagi kami, sungguh... aku memegang janjiku untuk ikhlas dan rela. Kuharap di sana suamiku juga memegang janjinya yang pernah diucap malam itu. Semoga ini hanya sementara dan suatu saat nanti kami akan bisa bersama kembali di Bandar Lampung--seperti sebelumnya. Aamiin.
Dan oh ya, hari ini aku tersenyum. Tidak lagi menangis dan melewati dengan baik malam pertama tidur tanpa suami di sampingku. Kami pun saling bertukar pesan rindu melalui BBM dan social media. Serasa pasangan yang baru saja berpacaran. Hihi. Yah... mungkin inilah warna-warni baru di tahun pertama pernikahan kami. Sepertinya, kami memang harus siap menyambut warna-warni lain di kehidupan pernikahan kami di tahun-tahun selanjutnya! ^^
Love you always dearest Pipi,
XOXO
Mimi
2 komentar:
Bandar Lampung - Kalianda, 54,5 Km. And love will find the way.
love will ALWAYS find the way :)
Posting Komentar